TRIBUNJOGJA.COM, JAKARTA - Kluster puing-puing
diduga Malaysia Airlines MH370 berada di atas sebuah rangkaian gunung
api bawah laut raksasa yang kompleks medannya nyaris tidak terpetakan.
Hal itu diungkapkan oleh seorang ahli geologi laut Australia. seperti
dikutip Sidney Morning Herald.
Robin Beaman, dari Universitas James Cook, mengatakan sangat sedikit
dasar laut di selatan Samudera Hindia, termasuk di zona pencarian MH307,
yang telah dipetakan dengan rinci sehingga setiap upaya mengambil
reruntuhan pesawat itu akan membutuhkan pemetaan 3D (tiga dimensi) yang
ekstensif, kemungkinan oleh kapal-kapal berperalatan pendeteksi bawah
air atau multibeam echo sounders.
Namun Australia tidak lagi mempunyai kapasitas untuk memetakan
kedalaman 3.000 meter yang merupakan rata-rata kedalaman di area
pencarian, karena satu-satunya kapal milik pemerintah Australia yang
mampu melakukan pemetaan semacam itu, yaitu RV Southern Surveyor, sudah
dinonaktifkan Desember lalu.
Pengganti kapal riset itu tengah dibuat di Singapura dan masih harus
menjalani uji lautan, kata Dr Beaman. "Ini sungguh masa yang tidak
tepat. Australia tak mempunyai kapabilitas untuk memetakan
kedalaman-kedalaman seperti ini,'' kata dia.
Multibeam echo sounders mengirimkan pancaran pulsa (denyut suara) ke
arah dasar laut dan setelah itu energi akustik dipantulkan kembali
sebagai data kedalaman dasar laut langsung ke kapal dan di sisi lainnya
dalam pola yang disebut swath atau petak.
Beaman mengatakan bagian puing pertama yang dijejak satelit
DigitalGlobe 16 Maret lalu berlokasi sekitar 60 km sebelah barat daya
zona aktif Punggungan Hindia Tenggara, sebuah rangkaian gunung api bawah
laut yang membentang dari barat daya Australia sampai di bawah Selandia
Baru.
Objek satunya lagi yang dilihat pesawat Tiongkok berada sekitar 180
km barat daya punggungan samudera tersebut, sedangkan objek diduga puing
yang dilihat sebuah pesawat Australia hari Senin lalu berada sekitar
200 km sebelah timur laut dari punggungan samudera ini.
"Pada
sayap-sayap punggungan yang besar kemungkinan di mana zona kecelakaan
terjadi, hampir tidak ada pemetaan yang terlepas dari jalur penerbangan
yang ganjil itu,'' kata dia.
Kompleks medan punggungan yang puncaknya bertinggi puluhan meter,
akan menyulitkan penjejakkan puing apa pun, tanpa bantuan peta yang
benar dan kapal-kapal bawah laut yang terbiasa beroperasi di daerah
terpencil. "Tak bisa lain harus dipetakan kembali,'' kata Beaman.
Kelompok-kelompok riset internasional telah menyelenggarakan beberapa
survei dasar laut di kawasan itu dengan menggunakan multibeam echo
sounders guna menghasilkan peta 3D dasar laut, namun dua survei terakhir
dilakukan hampir 20 tahun lalu yang itu pun menggunakan teknologi yang
sudah usang.
Survei-survei ini memetakan beberapa area yang lebarnya sekitar 70
km, sedangkan kapal-kapal riset lainnya mengumpulkan detail di dasar
laut ketika berlayar dari satu pelabuhan ke pelabuhan lain, namun
lintasan yang dipetakan kapal-kapal itu hanya selebar 10 sampai 20
km. "Akan sangat tidak mungkin puing-puing itu jatuh di zona-zona paling
sempit yang memiliki lebar 10 sampai 20 kilometer,'' kata dia. "Anda
meninggalkan celah-celah ratusan kilometer jauhnya di mana tak ada
pemahaman mendalam soal seperti apakah medan dasar laut itu," ucap
Beaman.
Dr Beaman mengaku tidak kaget mendapati sebuah area di perairan
terbuka yang dalam dan begitu jauh dari daratan atau rute pelayaran
reguler, tidak dipetakan secara detail. "Anda harus menempatkan upaya
Anda ke tempat yang paling dibutuhkan," kata dia.
Juru bicara Departemen Pertahanan Australia mengatakan kendati area
pencarian ada dalam cakupan wewenang pemetaan dari lembaga pemetaan laut
Australian Hydrographic Service, area itu tidak dipetakan sangat detail
karena amat dalamnya lautan ini sehingga berisiko untuk kapal-kapal,
demikian Sidney Morning Herald. (ant)