Melalui siaran persnya, PT Newmont Nusa Tenggara (Newmont) menyampaikan
mereka telah mengajukan permohonan untuk arbitrase (request for
arbitration ) terhadap Pemerintah Indonesia.
Permohonan
arbitrase ini dikaitkan dengan keharusan perusahaan tambang untuk
melakukan pengolahan dan pemurnian hasil penambangan yang ditetapkan
pemerintah melalui Peraturan Pemerintah Nomor 1 Tahun 2014 beserta
aturan pelaksanaannya. Berbagai ketentuan ini merupakan amanat dari
Pasal 103 dan Pasal 170 Undang- Undang Mineral dan Batubara (UU
Minerba).
Dalam masa transisi pemerintah menetapkan pengenaan
bea keluar hingga tahun 2017. Oleh karenanya bila ada bahan tambang yang
hendak diekspor tetapi belum diolah dan dimurnikan sepenuhnya di
Indonesia akan dikenai bea keluar. Besaran bea keluar dikaitkan dengan
tingkat pengolahan dan pemurnian yang dilakukan di Indonesia.
Arbitrase Arbitrase
yang digunakan Newmont bukanlah jenis arbitrase ketika Pemerintah
Indonesia menggugat Newmont pada tahun 2008. Ketika itu arbitrase yang
digunakan adalah arbitrase yang diatur dalam kontrak karya. Arbitrase
jenis ini dikenal sebagai arbitrase komersial (commercial arbitration).
Kali ini Newmont mengajukan Pemerintah Indonesia ke International Center
for Settlement of Investment Dispute (ICSID).
ICSID meski
disebut sebagai arbitrase, tetapi berbeda dengan arbitrase komersial.
ICSID dalam konteks peradilan di Indonesia mirip dengan Pengadilan Tata
Usaha Negara (PTUN). Dalam konteks demikian individu atau badan hukum
yang bertindak sebagai penggugat, sedangkan pemerintah sebagai tergugat.
Dalam konteks ICSID pemerintah hanya bisa digugat oleh penanam modal
yang berkewarganegaraan asing untuk masalah yang terbatas pada penanaman
modal (investment ).
Gugatan diajukan karena penanam modal
merasa dirugikan oleh kebijakan yang diambil pemerintah. Adapun pihak
yang menggugat pemerintah dalam kasus ini adalah pemegang saham Newmont,
yaitu Nusa Tenggara PartnershipBV, yangmerupakan badan hukum Belanda,
di samping Newmont sendiri. Inti dari gugatan, Newmont tidak dapat
beroperasi karena bea keluar yang diterapkan pemerintah. Padahal
pemerintah terikat untuk tidak mengeluarkan apa pun pajak ataupun bea
selain yang diatur dalam kontrakkarya.
Janggal Gugatan
Newmont ke ICSID sangat janggal. Ada lima alasan mengapa demikian.
Pertama , pengenaan bea keluar oleh pemerintah tidak hanya dikenakan
secara khusus terhadap Newmont. Bea keluar dikenakan ke semua perusahaan
tambang, baik lokal maupun multinasional. Memang terkait bea keluar ini
sejumlah pihak melakukan gugatan terhadap pemerintah.
Pelaku
usaha yang tergabung dalam Asosiasi Pengusaha Mineral Indonesia
(Apemindo) mengajukan permohonan uji materi (judicial review ) ke
Mahkamah Konstitusi (MK). Pemerintah Jepang dikabarkan berencana
mengajukan Pemerintah Indonesia ke Dispute Settlement Body yang dikenal
dalam World Trade Organization. Besar dugaan gugatan dilancarkan karena
perusahaan pemurnian bahan tambang di Negeri Sakura tersebut terganggu
pasokannya karena bea keluar.
Ini berarti keinginan Indonesia
untuk melakukan hilirisasi di dunia pertambangan sudah tepat. Hilirisasi
pasti tidak dikehendaki banyak pihak. Hilirisasi yang akan membuat
Indonesia mengubah diri dari negara yang berbasis penambangan menjadi
negara yang berbasis pengolahan mineral.
Kejanggalan kedua ,
permohonan arbitrase oleh Newmont ke ICSID sangat tidak etis ketika
pemerintah sedang mencari jalan keluar atas permasalahan bea keluar yang
dihadapi banyak perusahaan tambang. Bagi pemerintah pengolahan dan
pemurnian di dalam negeri merupakan kebijakan final dan harga mati. Ini
karena UU Minerba telah menggariskan demikian. Hanya saja pemerintah
tentu bisa meninjau besaran dari bea keluar.
Bila peninjauan
dilakukan, ini bukan karena tekanan dari Newmont atau perusahaan tambang
multinasional, melainkan pemerintah harus memperhatikan banyaknya
tenaga kerja yang harus dirumahkan atau harus mengalami pemutusan
hubungan kerja (PHK). Ketiga, gugatan yang dilancarkan Newmont terhadap
Pemerintah Indonesia ke ICSID anehnya dikaitkan dengan kontrak karya.
Padahal
bila substansi kontrak karya yang hendak dipermasalahkan arbitrase,
yang seharusnya menyelesaikan adalah arbitrase komersial yang dibentuk
berdasarkan kontrak karya, bukan melalui forum ICSID. Argumentasi
Newmont bahwa Pemerintah Indonesia harus tunduk pada kontrak karya dan
tidak boleh menerbitkan peraturan terkait bea keluar sama saja dengan
mengatakan kedaulatan hukum pemerintah Indonesia dibelenggu oleh
kontrak.
Di dunia ini tentu tidak ada suatu pemerintahan pun
yang mau dibelenggu kedaulatan hukumnya oleh sebuah kontrak. Pemerintah
sebagai pembuat regulasi tidak boleh dibelenggu ataupun dibatasi
perannya. Keempat , Newmont memanfaatkan anak peru-sahaannya, Nusa
Tenggara Partnership BV, yang didirikan di Belanda untuk mengajukan
Pemerintah Indonesia ke ICSID.
Padahal Newmont Mining
Corporation adalah sebuah perusahaan Amerika Serikat. Menjadi pertanyaan
mengapa tidak Newmont Mining Corporation yang mengajukan gugatan?
Gugatan didasarkan pada Perjanjian Peningkatan dan Perlindungan
Penanaman Modal (P4M) atau Bilateral Investment Treaty antara Pemerintah
Indonesia dengan Pemerintah Belanda.
Tidak seharusnya Newmont
Mining Corporation membawa-bawa Pemerintah Belanda dalam sengketa ini.
Publik di Indonesia tentu akan sensitif bila pemerintah atau perusahaan
Belanda mengajukan Pemerintah Indonesia ke hadapan ICSID. Rasa
nasionalisme pun akan muncul. Terakhir kejanggalan dari gugatan ini,
Newmont mengajukan permohonan arbitrase ICSID di waktu Indonesia sedang
menjalani proses pemilihan presiden.
Apakah ini merupakan
gertakan kepada siapa pun yang akan menjadi presiden Indonesia ke depan?
Yang pasti, siapa pun Presiden pengganti SBY, mereka akan menjadikan
gugatan Newmont sebagai komoditas politik. Presiden pengganti SBY akan
bertindak lebih keras dan tegas terhadap perusahaan tambang
multinasional yang menunjukkan arogansinya. Mengajukan Pemerintah
Indonesia ke ICSID merupakan tindakan arogan dari Newmont.
Hadapi Bagi
pemerintah, tidak ada kata lain selain menghadapi gugatan Newmont ke
ICSID. Pemerintah harus segera menunjuk pengacara andal yang terbiasa
dengan kasus-kasus di ICSID. Setelah itu pemerintah akan menunjuk
arbiternya. Di tahap awal pemerintah akan mematahkan gugatan Newmont
dengan menyatakan ICSID tidak berwenang untuk menyelesaikan sengketa
yang diajukan Newmont.
Bila berhasil, gugatan Newmont akan
kandas. Bila tidak barulah memasuki substansi perkara. Satu hal yang
pasti, dalam gugatannya, Newmont meminta putusan sela agar ICSID dapat
memutus untuk memperbolehkan Newmont melakukan ekspor tanpa dikenai bea
keluar. Ini tindakan tidak etis Newmont yang memanfaatkan lembaga
peradilan internasional seperti ICSID untuk kepentingan komersialnya.
Padahal
pengenaan bea keluar bagi Indonesia merupakan tindakan untuk
menjalankan amanat UU Minerba yang merupakan pengejawantahan Pasal 33
UUD 1945. Dalam pengajuan ke ICSID ini, bila pemerintah menyerah berarti
pemerintah telah mengkhianati amanat UU Minerba. Untuk sebuah harga
diri dan kedaulatan, pemerintah tidak boleh lemah karena rakyat pasti
ada di belakang.
Bila pemerintah menyerah, perusahaan tambang
multinasional dan lokal lainnya memaksa pemerintah untuk memperlakukan
mereka sama dengan Newmont. Pemerintah tidak boleh menyerah dan lemah.
Satu hal lagi, ada baiknya pemerintah mempertimbangkan untuk keluar dari
ICSID mengingat belakangan ini ICSID digunakan untuk ”menekan”
pemerintah agar tunduk pada kehendakperusahaanmultinasional.
Guru Besar Hukum Internasional FHUI
Hikmahanto Juwana (//mrt)