Ayo Dukung Serginho Van Dijk dkk di Vietnam

Inilah jadwal Timnas Indonesia saat berlaga di AFF Suzuki Cup 22 November-22 Desember 2015 di Vietnam dan Singapura.

Presiden Curhat di Twitter Tentang Megawati

Ia mengklaim selama 10 tahun ini ia sudah berupaya untuk menjalin komunikasi lagi dengan Mega namun Allah belum mengizinkan.

Pemerintah: Pilkada Tak Langsung Sesuai UUD 1945

Pernyataan pemerintah disampaikan oleh Pelaksana Tugas Dirjen Perundang-undangan Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia Mualimin Abdi. Mualimin memberikan keterangan saat UU Pemda dan UU Penyelenggara Pemilu diuji materi oleh Forum Kajian Hukum dan Konstitusi yang menginginkan pilkada dilaksankan melalui DPRD.

Profil Universitas Negeri Yogyakarta

Univeristas Negeri Yogyakarta (UNY) adalah Universitas "pecahan" dari Universitas Gadjah Mada.

Anis Matta: Kita Menangkan Empat Pertarungan

Presiden Partai Keadilan Sejahtera (PKS), Anis Matta, kembali menegaskan bahwa partai Koalisi Merah Putih masih solid. Kemenangan pertarungan keempat di parlemen yang salah satunya adalah mengenai RUU Pilkada yang telah diputuskan untuk dipilih melalui DPRD.

Kamis, 17 April 2014

Kisah Mistis Prajurit Kopassus Tersesat di Hutan Belantara Papua

Prajurit Kopassus TNI AD (Foto: Dok. Okezone) 
JAKARTA -Salah satu syarat untuk menjadi prajurit elite TNI AD, Komando Pasukan Khusus (Kopassus) harus melewati berbagai tes rekruitmen yang sangat sulit.

Kegiatan recruiting itu dikenal di kalangan komando dengan istilah werving yang merupakan rangkaian tes kesehatan, fisik, akademi dan psikologi.

Setelah lulus seleksi, maka calon anggota terpilih akan dikirim ke Makopassus di Cijantung, Jakarta Timur untuk dipersiapkan mengikuti pendidikan komando di Batujajar, Bandung, Jawa Barat.

Setelah dinyatakan lulus, prajurit Kopassus akan menerima penugasan di berbagai daerah, termasuk yang memiliki medan hutan yang sangat sulit seperti di Papua. Ada pengalaman mistik yang dibagi oleh Selvanus (bukan nama sebenarnya), seorang prajurit Kopassus yang sempat bertugas di Papua.

Seperti dikutip Okezone dalam buku Kopassus untuk Indonesia, karangan Iwan Santosa dan E.A Natanegara. Saat itu Selvanus ditempatkan sebagai komandan pos di Timika yang waktu itu sangat rawan karena keberadaan pentolan Organisasi Papua Merdeka (OPM), Kelly Kwalik dan Thadeus Yogi.

Selvanus pun diperintahkan untuk menggerebek markas OPM yang berjarak enam hari jalan kaki dari markas Selvanus.

Tim yang dibawanya mulai berangkat ke lokasi pada bulan Oktober yang juga musim penghujan. Saat hari kelima, mereka bertemu sungai dengan arus yang sangat deras. Mereka pun memutuskan untuk menyeberang dengan menggunakan tali.

"Kebetulan saya jago renang. Jadi ketika saya lihat ada prajurit yang masuk ke pusaran air, saya juga ikut masuk dan menyelam," ucapnya.

Namun sampai suatu titik, sungai itu hilang dan menjadi air terjun. Selvanus pun menepi di tengah hutan Papua yang berada di ketinggian 4.000 meter di atas permukaan laut.

"Lima orang sudah menyeberang, tiga belum menyeberang dan saya hanyut bersama si Kopral. Ini adalah satu-satunya motivasi saya untuk bertahan dan mencari Kopral itu," terangnya.

Saat ia keasyikan mencari prajurit tersebut, Selvanus tidak dapat kembali pulang. Dia pun tersesat di dalam hutan belantara.

"Di kepala saya, saya harus mencari arah ke Timika untuk melapor ke komandan dan melanjutkan mencari anak buah yang hilang," tuturnya.

Saat hari keenam, Selvanus sudah berada di ambang sadar. Semua perlengkapan termasuk sepatunya hanyut dibawa arus sungai yang deras.

"Hari keenam itu saya sudah melihat alam lain. Saya mulai mengobrol dan berkomunikasi. Mungkin itu hanya halusinasi saja. Namun anehnya, saya masih terus bisa berjalan, bahkan sampai hari kesebelas dan berhasil menyeberangi sungai dengan lebar 200 meter sebelum tiba di Timika. Dan akhirnya, Selvanus yang hilang di hutan Papua selama delapan belas hari, berhasil ditemukan oleh warga di Timika dengan selamat.

"Saat itu saya hanya tinggal tulang berbalut kulit, mata yang terus berputar liar dan telapak kaki yang bengkak akibat tertancap potongan kayu. Dokter yang memeriksa saya saat itu menyatakan bebas dari penyakit malaria dan cacing tambang," bebernya.

Setelah dinyatakan sehat, Selvanus diundang oleh Pangdam Cendrawasih ke Jayapura untuk menikmati makan malam.

"Anehnya, makanan satu meja itu semua habis saya makan sendiri. Saya makan banyak begitu bukan balas dendam, tapi rupanya ada yang 'ikut'. Tiba-tiba saya ingat bahwa saya selama di hutan memang selalu ditemani tiga orang. Kalau matahari sudah terbenam, satu memijati kaki, satu memijati pundak dan satu lagi berbagi rokok dengan saya. Alamnya sudah lain," pungkasnya.

sumber: Okezone.com

Rabu, 16 April 2014

Live streaming Arema vs Selangor FA

http://majalahsports.com/wp-content/uploads/2014/04/Prediksi-Arema-vs-Selangor.jpg


Arema vs Selangor FA adalah laga hidup mati bagi Arema dan Selangor karena jika Arema mampu meraih 3 poin, dipastikan Arema lolos ke babak selanjutnya, begitu juga untuk Selangor FA. SILAHKAN MENIKMATI !!!

Asas Retroaktif dalam Sistem Hukum Indonesia

http://starinfo101.com/foto_berita/medium_88ma.jpg

Hukum pidana Indonesia pada dasarnya menganut asas legalitas sebagimana yang diatur dalam Pasal 1 ayat (1) KUHP yang menyatakan “Tiada suatu perbuatan dapat dipidana kecuali atas kekuatan aturan pidana dalam perundang-undangan yang telah ada sebelum perbuatan dilakukan”. Salah satu konsekuensi dari ketentuan dari pasal tersebut adalah larangan memberlakukan surut suatu perundang-undangan pidana atau yang dikenal dengan istilah asas retroaktif. Pada awalnya, larangan pemberlakuan surut suatu peraturan pidana terdapat dalam Pasal 6 Algemene Bepalingen van Wetgeving voor Nederlands Indie (AB) S.1947-23, kemudian muncul dalam Konstitusi, yaitu UUDS 1950 Pasal 14 ayat (2). Larangan asas retroaktif juga ditegaskan dalam Pasal 28 I ayat (1) Undang-undang Dasar 1945 yang menyatakan:
“Hak untuk hidup, hak untuk tidak disiksa, hak kemerdekaan pikiran dan hati nurani, hak beragama, hak untuk tidak diperbudak, hak untuk diakui sebagai pribadi di hadapan hukum, dan hak untuk tidak dituntut atas dasar hukum yang berlaku surut adalah hak asasi manusia yang tidak dapat dikurangi dalam keadaan apa pun.”
Adapun dasar pemikiran dari larangan tersebut adalah:
a. Untuk menjamin kebebasan individu dari kesewenang-wenangan penguasa.
b. Pidana itu juga sebagai paksaan psikis (teori psychologische dwang dari Anselm von Feurebach). Dengan adanya ancaman pidana terhadap orang yang melakukan tindak pidana, penguasa berusaha mempengaruhi jiwa si calon pembuat untuk tidak berbuat.
Meskipun prinsip dasar dari hukum berpegang pada asas legalitas namun dalam beberapa ketentuan peraturan perundang-undangan asas legalitas ini tidak berlaku mutlak. Artinya dimungkinkan pemberlakuan asas retroaktif walaupun hanya dalam hal-hal tertentu saja. Pemberlakuan surut diizinkan jika sesuai dengan ketentuan dalam Pasal 1 ayat (2) KUHP yang menyebutkan “ Bilamana ada perubahan dalam perundang-undangan sesudah perbuatan dilakukan, maka terhadap terdakwa diterapkan ketentuan yang paling menguntungkannya.” Suatu peraturan perundang-undangan mengandung asas retroaktif jika :
a. menyatakan seseorang bersalah karena melakukan suatu perbuatan yang ketika perbuatan tersebut dilakukan bukan merupakan perbuatan yang dapat dipidana; dan
b. menjatuhkan hukuman atau pidana yang lebih berat daripada hukuman atau pidana yang berlaku pada saat perbuatan itu dilakukan (Pasal 12 Ayat 2 Deklarasi Universal HAM).
Asas retroaktif tidak boleh digunakan kecuali telah memenuhi empat syarat kumulatif:
(1) kejahatan berupa pelanggaran HAM berat atau kejahatan yang tingkat kekejaman dan destruksinya setara dengannya;
(2) peradilannya bersifat internasional, bukan peradilan nasional;
(3) peradilannya bersifat ad hoc, bukan peradilan permanen; dan
(4) keadaan hukum nasional negara bersangkutan tidak dapat dijalankan karena sarana, aparat, atau ketentuan hukumnya tidak sanggup menjangkau kejahatan pelanggaran HAM berat atau kejahatan yang tingkat kekejaman dan destruksinya setara dengannya.
Beberapa ketentuan yang mengatur mengenai asas retroaktif ini diatur dalam Penjelasan Pasal 4, Pasal 18 ayat (3) UU No. 39 Tahun 1999 (khusus yang berkaitan dengan hukum pidana) dan Pasal 43 UU No. 26 Tahun 2000, Pasal 46 Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perpu) No. 1 Tahun 2002 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme yang menjadi UU No. 15 Tahun 2003 dan Perpu No. 2 Tahun 2002 tentang Pemberlakuan Perpu No. 1 Tahun 2002 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme pada Peristiwa Bom di Bali tanggal 12 Oktober 2002 yang akhirnya menjadi UU No. 16 Tahun 2003.
Asas Retroaktif Dalam Instrumen Hukum Internasional
Pada saat ini larangan pemberlakuan surut (non retroaktif) suatu peraturan pidana sudah menjadi hal yang umum di dunia internasional, misalnya dalam Artikel 99 Konvensi Jenewa Ketiga 12 Agustus 1949, Pasal 4 dan Pasal 28 Konvensi Wina 1969 (Vienna Convention on the Law and Treaties) yang mengatur perjanjian antara negara dan negara dan Pasal 4 dan Pasal 28 Konvensi Wina 1986 (Vienna Convention on the Law of Treaties between States and International Organizations or between International Organizations). Selain itu dapat pula dilihat dalam Pasal 11 ayat (2) Universal Declaration of Human Right 1948, Pasal 15 ayat (1) International Covenant on Civil and Political Rights 1966/ICCPR, Pasal 7 European Convention for the Protection of Human Rights and Fundamental Freedoms and Its Eight Protocols, Pasal 9 American Convention on Human Rights dan Rome Statute of the International Criminal Court (1998) yang tetap mempertahankan prinsip-prinsip asas legalitas, terutama dalam Pasal 22-24.
Meskipun ketentuan dalam hukum internasional menentukan demikian, bukan berarti tidak ada kecualian, artinya kesempatan untuk memberlakukan asas retroaktif tetap terbuka. Ini terjadi karena ketentuan hukum internasional tersebut di atas memberi kemungkinan untuk melakukan penyimpangan. Ini dapat dilihat dari ketentuan dalam Pasal 28 Konvensi Wina 1969 dan Pasal 28 Konvensi Wina 1986 yang rumusannya sama persis. Kemudian Pasal 64 dan Pasal 53 kedua konvensi itu juga memberi kemungkinan berlakunya asas retroaktif. Ketentuan lain dapat kita lihat dalam Pasal 103 Piagam PBB dan Pasal 15 ayat (2) ICCPR yang merupakan pengecualian terhadap Pasal 15 ayat (1).
Dari praktek hukum pidana internasional, dapat dilihat bahwa asas retroaktif ini diberlakukan terhadap beberapa peristiwa tertentu, yang pada akhirnya praktek ini mempengaruhi pembuatan ketentuan penyimpangan atau pengecualian dari asas non retroaktif pada instrumen hukum internasional. Mahkamah pidana internasional Nuremberg 1946 dan Tokyo 1948 yang mengadili penjahat perang pada Perang Dunia II, International Criminal Tribunal for the Former Yugoslavia (ICTY) dan International Criminal Tribunal for Rwanda (ICTR) merupakan contoh penerapan asas retroaktif. Pelanggaran terhadap asas non-retroaktif tersebut merupakan momentum penting, merupakan “benchmark” dalam perkembangan politik hukum pidana pasca Perang Dunia Kedua, sekalipun telah menimbulkan pro dan kontra dikalangan para ahli hukum pidana di seluruh dunia.

Analisis Yuridis
Penolakan terhadap asas retroaktif dipicu dari adanya anggapan bahwa asas retroaktif merupakan wadah dari political revenge (balas dendam politik) sehingga asas retroaktif dikatakan sebagai refleksi dari lex talionios (balas dendam). Larangan akan pemberlakuan asas retroaktif dalam instrumen hukum internasional dan hukum nasional setidaknya menjadi indikator bahwa asas ini masih terbuka untuk diperdebatkan. Larangan mengenai asas retroaktif ini merupakan non derogable rights (hak-hak yang tidak dapat ditangguhkan atau dibatasi (dikurangi) pemenuhannya oleh negara, meskipun dalam kondisi darurat sekalipun) sebagaimana yang diatur dalam Pasal 15 International Covenant on Civil and Political Rights yang diratifikasi melalui Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 12 Tahun 2005 Tentang Pengesahan International Covenant On Civil And Political Rights (Kovenan Internasional Tentang Hak-Hak Sipil Dan Politik) kecuali memenuhi syarat komulatif yakni:
a. sepanjang ada situasi mendesak yang secara resmi dinyatakan sebagai situasi darurat yang mengancam kehidupan bernegara
b. penangguhan atau pembatasan tersebut tidak boleh didasarkan pada diskriminasi ras, warna kulit, jenis kelamin, bahasa, agama atau asal-usul sosial,
c. pembatasan dan penangguhan yang dimaksud harus dilaporkan kepada Perserikatan Bangsa Bangsa(PBB).
Pemberlakuan asas reroaktif sebaiknya tetap dipertahankan dalam peraturan perundang-undangan di Indonesia. Hal tersebut didasari oleh beberapa alasan yakni:
a. Secara yuridis, asas retroaktif dimungkinkan melalui rumusan Pasal 28 J Undang-undang Dasar Republik Indonesia 1945 yang menyebutkan:
(1) Setiap orang wajib menghormati hak asasi manusia orang lain dalam tertib kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara.
(2) Dalam menjalankan hak dan kebebasannya, setiap orang wajib tunduk kepada pembatasan yang ditetapkan dengan undang-undang dengan maksud semata-mata untuk menjamin pengakuan serta penghormatan atas hak dan kebebasan orang lain dan untuk memenuhi tuntutan yang adil sesuai dengan pertimbangan moral, nilai-nilai agama, keamanan, dan ketertiban umum dalam suatu masyarakat demokratis.
b. Ketentuan internasional memberikan peluang untuk memberlakukan asas retroaktif, bahkan telah menerapkan asas ini melalui pengadilan ad hoc di Nuremberg, Tokyo dan sebagainya sebagaimana telah diauraikan sebelumnya.
c. Asas retroaktif merupakan senjata untuk menghadapi kejahatan-kejahatan baru yang tidak dapat disejajarkan dengan tindak pidana yang terdapat dalam KUHP ataupun diluar KUHP. Dengan demikian tidak ada pelaku yang dapat lolos dari jeratan hukum.
d. Pemberlakuan asas retroaktif merupakan cerminan dari asas keadilan baik terhadap pelaku maupun korban.
e. Asas retroaktif sangat diperlukan dalam mengadili kejahatan luar biasa (extra ordinary crime). Adapun kualifikasi extra ordinary crime dapat dilihat pada jumlah korban, cara dilakukannya kejahatan, dampak psikologis yang ditimbulkan serta kualifikasi kejahatan yang ditetapkan oleh PBB.
f. Sesuai dengan asas-asas hukum pidana internasional, penolakan terhadap asas retroaktif ini semata-mata hanya dilihat melalui pendekatan hukum tata negara saja tanpa memperhatikan aspek pidana (nasional dan internasional).

Selasa, 15 April 2014

Sebut Pemain Monyet, Komentator Bola Brasil Ditangkap Polisi

http://static.republika.co.id/uploads/images/detailnews/bendera-brasil-_130526113905-415.jpg

REPUBLIKA.CO.ID,JAKARTA--Seorang komentator sepak bola di televisi Brasil ditangkap dengan dakwaan rasisme setelah ia menyebut seorang pemain "monyet", kata media setempat.

Lourival Santos, dari saluran televisi Rene Massa, dituduh mengeluarkan komentar itu pada pertandingan antara Londrina dan Maringa di Liga Negara Bagian Parana, Ahad (13/4).

Makian itu merujuk kepada gol oleh pemain bertahan Londrina Maicon Silva, kata kantor berita Brasil, O Globo.

Petugas kepolisian Clovis Glavao, dari satuan polisi di Parana, kepada media membenarkan adanya kasus itu. Santos dibebaskan setelah ditanyai polisi.

Stasiun televisi Rede Massa mengeluarkan pernyataan pada Senin "yang membantah dan mengutuk semua tindakan rasisme", demikian laporan Xinhua.

"Komentator Lourival Santos telah dipindahkan dari kegiatannya (dengan stasiun televisi itu)," kata pernyataan tersebut.

Santos belum bisa dimintai komentar. Peristiwa pada hari Minggu itu adalah yang terbaru dari serangkaian pernyataan rasis yang melanda dunia sepak bola Brasil.

Pada Maret, Presiden Brasil Dilma Rousseff menyampaikan keprihatinannya sehubungan dengan peningkatan pelecehan yang bersifat rasis di Twitter.

"Tak dapat diterima bahwa Brasil, negara dengan penduduk kulit hitam terbesar di luar Afrika, menghadapi masalah rasisme," kata Roussef.

Rousseff juga telah berikrar untuk menjadikan pesan anti-rasisme sebagai tema Piala Dunia tahun ini.

Ada di Soal UN, Siswa: Jokowi Sengaja Ingin Gaet Pemilih Pemula



REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA-- Dalam Ujian Nasional (UN) mata pelajaran Bahasa Indonesia, terdapat soal yang berisi tentang Gubernur DKI Jakarta yang juga menjadi calon Presiden RI dari PDI Perjuangan, Joko 'Jokowi' Widodo. Hal ini tentu saja juga mengejutkan para siswa yang menjadi peserta UN tahun ini.
Salah satunya Agus, siswa kelas 3 SMA di bilangan Jakarta Timur. Agus mengiyakan adanya soal yang berisi pernyataan Jokowi dengan gaya blusukannya yang menjadi materi wacana. Di soal nomor 13 itu, ditanyakan keteladanan Jokowi pada kutipan tersebut.
"Saya terpaksa menjawab B untuk pertanyaan itu, yaitu gemar blusukan ke pelosok wilayah. Saya kaget juga ada Jokowi di soal UN. Saya jadi tidak suka sama Jokowi," kata Agus kepada ROL, Selasa (15/4).
Ia memberikan alasannya menjadi tidak simpatik dengan Jokowi karena ia menganggap Jokowi telah memanfaatkan UN untuk kepentingannya. Apalagi siswa kelas 3 SMA merupakan para pemilih pemula yang sudah dapat memberikan suaranya dalam pemilu.
"Saya sih menduga Jokowi ingin menggaet pemilih baru seperti anak-anak SMA dengan dimasukkan dalam UN," jelasnya.
Senada diungkap Risma, siswa kelas 3 SMA di bilangan Bekasi, Jawa Barat. Ia juga tidak menyangka dengan dimasukkannya Jokowi dalam soal UN. Ia meminta agar Menteri Pendidikan dan Kebudayaan (Mendikbud), M Nuh untuk mengusut dan memberikan sanksi kepada pembuat soal.
"Itu harus diusut, bagaimanapun kita (siswa kelas 3 SMA) yang menjadi korban karena ada berbau politik dalam soal UN," tegasnya.

Share

Twitter Delicious Facebook Digg Stumbleupon Favorites More