Hukum pidana Indonesia pada dasarnya menganut asas legalitas sebagimana
yang diatur dalam Pasal 1 ayat (1) KUHP yang menyatakan “Tiada suatu
perbuatan dapat dipidana kecuali atas kekuatan aturan pidana dalam
perundang-undangan yang telah ada sebelum perbuatan dilakukan”. Salah
satu konsekuensi dari ketentuan dari pasal tersebut adalah larangan
memberlakukan surut suatu perundang-undangan pidana atau yang dikenal
dengan istilah asas retroaktif. Pada awalnya, larangan pemberlakuan
surut suatu peraturan pidana terdapat dalam Pasal 6 Algemene Bepalingen
van Wetgeving voor Nederlands Indie (AB) S.1947-23, kemudian muncul
dalam Konstitusi, yaitu UUDS 1950 Pasal 14 ayat (2). Larangan asas
retroaktif juga ditegaskan dalam Pasal 28 I ayat (1) Undang-undang Dasar
1945 yang menyatakan:
“Hak untuk hidup, hak untuk tidak disiksa, hak
kemerdekaan pikiran dan hati nurani, hak beragama, hak untuk tidak
diperbudak, hak untuk diakui sebagai pribadi di hadapan hukum, dan hak
untuk tidak dituntut atas dasar hukum yang berlaku surut adalah hak
asasi manusia yang tidak dapat dikurangi dalam keadaan apa pun.”
Adapun dasar pemikiran dari larangan tersebut adalah:
a. Untuk menjamin kebebasan individu dari kesewenang-wenangan penguasa.
b.
Pidana itu juga sebagai paksaan psikis (teori psychologische dwang dari
Anselm von Feurebach). Dengan adanya ancaman pidana terhadap orang
yang melakukan tindak pidana, penguasa berusaha mempengaruhi jiwa si
calon pembuat untuk tidak berbuat.
Meskipun prinsip dasar dari hukum
berpegang pada asas legalitas namun dalam beberapa ketentuan peraturan
perundang-undangan asas legalitas ini tidak berlaku mutlak. Artinya
dimungkinkan pemberlakuan asas retroaktif walaupun hanya dalam hal-hal
tertentu saja. Pemberlakuan surut diizinkan jika sesuai dengan ketentuan
dalam Pasal 1 ayat (2) KUHP yang menyebutkan “ Bilamana ada perubahan
dalam perundang-undangan sesudah perbuatan dilakukan, maka terhadap
terdakwa diterapkan ketentuan yang paling menguntungkannya.” Suatu
peraturan perundang-undangan mengandung asas retroaktif jika :
a.
menyatakan seseorang bersalah karena melakukan suatu perbuatan yang
ketika perbuatan tersebut dilakukan bukan merupakan perbuatan yang dapat
dipidana; dan
b. menjatuhkan hukuman atau pidana yang lebih berat
daripada hukuman atau pidana yang berlaku pada saat perbuatan itu
dilakukan (Pasal 12 Ayat 2 Deklarasi Universal HAM).
Asas retroaktif tidak boleh digunakan kecuali telah memenuhi empat syarat kumulatif:
(1) kejahatan berupa pelanggaran HAM berat atau kejahatan yang tingkat kekejaman dan destruksinya setara dengannya;
(2) peradilannya bersifat internasional, bukan peradilan nasional;
(3) peradilannya bersifat ad hoc, bukan peradilan permanen; dan
(4)
keadaan hukum nasional negara bersangkutan tidak dapat dijalankan
karena sarana, aparat, atau ketentuan hukumnya tidak sanggup menjangkau
kejahatan pelanggaran HAM berat atau kejahatan yang tingkat kekejaman
dan destruksinya setara dengannya.
Beberapa ketentuan yang mengatur
mengenai asas retroaktif ini diatur dalam Penjelasan Pasal 4, Pasal 18
ayat (3) UU No. 39 Tahun 1999 (khusus yang berkaitan dengan hukum
pidana) dan Pasal 43 UU No. 26 Tahun 2000, Pasal 46 Peraturan Pemerintah
Pengganti Undang-Undang (Perpu) No. 1 Tahun 2002 tentang Pemberantasan
Tindak Pidana Terorisme yang menjadi UU No. 15 Tahun 2003 dan Perpu No.
2 Tahun 2002 tentang Pemberlakuan Perpu No. 1 Tahun 2002 tentang
Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme pada Peristiwa Bom di Bali tanggal
12 Oktober 2002 yang akhirnya menjadi UU No. 16 Tahun 2003.
Asas Retroaktif Dalam Instrumen Hukum Internasional
Pada
saat ini larangan pemberlakuan surut (non retroaktif) suatu peraturan
pidana sudah menjadi hal yang umum di dunia internasional, misalnya
dalam Artikel 99 Konvensi Jenewa Ketiga 12 Agustus 1949, Pasal 4 dan
Pasal 28 Konvensi Wina 1969 (Vienna Convention on the Law and Treaties)
yang mengatur perjanjian antara negara dan negara dan Pasal 4 dan Pasal
28 Konvensi Wina 1986 (Vienna Convention on the Law of Treaties between
States and International Organizations or between International
Organizations). Selain itu dapat pula dilihat dalam Pasal 11 ayat (2)
Universal Declaration of Human Right 1948, Pasal 15 ayat (1)
International Covenant on Civil and Political Rights 1966/ICCPR, Pasal 7
European Convention for the Protection of Human Rights and Fundamental
Freedoms and Its Eight Protocols, Pasal 9 American Convention on Human
Rights dan Rome Statute of the International Criminal Court (1998) yang
tetap mempertahankan prinsip-prinsip asas legalitas, terutama dalam
Pasal 22-24.
Meskipun ketentuan dalam hukum internasional menentukan
demikian, bukan berarti tidak ada kecualian, artinya kesempatan untuk
memberlakukan asas retroaktif tetap terbuka. Ini terjadi karena
ketentuan hukum internasional tersebut di atas memberi kemungkinan untuk
melakukan penyimpangan. Ini dapat dilihat dari ketentuan dalam Pasal
28 Konvensi Wina 1969 dan Pasal 28 Konvensi Wina 1986 yang rumusannya
sama persis. Kemudian Pasal 64 dan Pasal 53 kedua konvensi itu juga
memberi kemungkinan berlakunya asas retroaktif. Ketentuan lain dapat
kita lihat dalam Pasal 103 Piagam PBB dan Pasal 15 ayat (2) ICCPR yang
merupakan pengecualian terhadap Pasal 15 ayat (1).
Dari praktek hukum
pidana internasional, dapat dilihat bahwa asas retroaktif ini
diberlakukan terhadap beberapa peristiwa tertentu, yang pada akhirnya
praktek ini mempengaruhi pembuatan ketentuan penyimpangan atau
pengecualian dari asas non retroaktif pada instrumen hukum
internasional. Mahkamah pidana internasional Nuremberg 1946 dan Tokyo
1948 yang mengadili penjahat perang pada Perang Dunia II, International
Criminal Tribunal for the Former Yugoslavia (ICTY) dan International
Criminal Tribunal for Rwanda (ICTR) merupakan contoh penerapan asas
retroaktif. Pelanggaran terhadap asas non-retroaktif tersebut merupakan
momentum penting, merupakan “benchmark” dalam perkembangan politik hukum
pidana pasca Perang Dunia Kedua, sekalipun telah menimbulkan pro dan
kontra dikalangan para ahli hukum pidana di seluruh dunia.
Analisis YuridisPenolakan
terhadap asas retroaktif dipicu dari adanya anggapan bahwa asas
retroaktif merupakan wadah dari political revenge (balas dendam politik)
sehingga asas retroaktif dikatakan sebagai refleksi dari lex talionios
(balas dendam). Larangan akan pemberlakuan asas retroaktif dalam
instrumen hukum internasional dan hukum nasional setidaknya menjadi
indikator bahwa asas ini masih terbuka untuk diperdebatkan. Larangan
mengenai asas retroaktif ini merupakan non derogable rights (hak-hak
yang tidak dapat ditangguhkan atau dibatasi (dikurangi) pemenuhannya
oleh negara, meskipun dalam kondisi darurat sekalipun) sebagaimana yang
diatur dalam Pasal 15 International Covenant on Civil and Political
Rights yang diratifikasi melalui Undang-Undang Republik Indonesia Nomor
12 Tahun 2005 Tentang Pengesahan International Covenant On Civil And
Political Rights (Kovenan Internasional Tentang Hak-Hak Sipil Dan
Politik) kecuali memenuhi syarat komulatif yakni:
a. sepanjang ada situasi mendesak yang secara resmi dinyatakan sebagai situasi darurat yang mengancam kehidupan bernegara
b.
penangguhan atau pembatasan tersebut tidak boleh didasarkan pada
diskriminasi ras, warna kulit, jenis kelamin, bahasa, agama atau
asal-usul sosial,
c. pembatasan dan penangguhan yang dimaksud harus dilaporkan kepada Perserikatan Bangsa Bangsa(PBB).
Pemberlakuan
asas reroaktif sebaiknya tetap dipertahankan dalam peraturan
perundang-undangan di Indonesia. Hal tersebut didasari oleh beberapa
alasan yakni:
a. Secara yuridis, asas retroaktif dimungkinkan melalui
rumusan Pasal 28 J Undang-undang Dasar Republik Indonesia 1945 yang
menyebutkan:
(1) Setiap orang wajib menghormati hak asasi manusia orang lain dalam tertib kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara.
(2)
Dalam menjalankan hak dan kebebasannya, setiap orang wajib tunduk
kepada pembatasan yang ditetapkan dengan undang-undang dengan maksud
semata-mata untuk menjamin pengakuan serta penghormatan atas hak dan
kebebasan orang lain dan untuk memenuhi tuntutan yang adil sesuai dengan
pertimbangan moral, nilai-nilai agama, keamanan, dan ketertiban umum
dalam suatu masyarakat demokratis.
b. Ketentuan internasional
memberikan peluang untuk memberlakukan asas retroaktif, bahkan telah
menerapkan asas ini melalui pengadilan ad hoc di Nuremberg, Tokyo dan
sebagainya sebagaimana telah diauraikan sebelumnya.
c. Asas
retroaktif merupakan senjata untuk menghadapi kejahatan-kejahatan baru
yang tidak dapat disejajarkan dengan tindak pidana yang terdapat dalam
KUHP ataupun diluar KUHP. Dengan demikian tidak ada pelaku yang dapat
lolos dari jeratan hukum.
d. Pemberlakuan asas retroaktif merupakan cerminan dari asas keadilan baik terhadap pelaku maupun korban.
e.
Asas retroaktif sangat diperlukan dalam mengadili kejahatan luar biasa
(extra ordinary crime). Adapun kualifikasi extra ordinary crime dapat
dilihat pada jumlah korban, cara dilakukannya kejahatan, dampak
psikologis yang ditimbulkan serta kualifikasi kejahatan yang ditetapkan
oleh PBB.
f. Sesuai dengan asas-asas hukum pidana internasional,
penolakan terhadap asas retroaktif ini semata-mata hanya dilihat melalui
pendekatan hukum tata negara saja tanpa memperhatikan aspek pidana
(nasional dan internasional).