Yogyakarta - Tidak ada yang tidak mungkin di dunia ini dan
tidak ada manusia yang sempurna di muka bumi ini. Begitu juga dengan
para penyandang disabilitas. Meski secara fisik penampilan mereka tidak
seperti orang kebanyakan, kemampuan mereka dalam berbagai bidang boleh
diadu. Bahkan, banyak difabel berotak encer.
Tidak jarang,
kemampuan akademik ini mengantarkan para difabel mencicipi perkuliahan
di kampus negeri. Misalnya dua mahasiswa Universitas Negeri Yogyakarta
(UNY) ini, Ardiansyah dan Muhamad Bima Pradana. Berkuliah di Program
Studi (Prodi) Pendidikan Luar Biasa Fakultas Ilmu Pendidikan (FIP) UNY,
mereka mengaku sudah menjadi tuna netra sejak belia.
Ardiansyah
misalnya, kehilangan penglihatannya sejak kelas 3 SD. Awalnya, pada usia
empat tahun, mata kiri Ardiansyah terkena pedal sepeda. Bertahun-tahun
kemudian, kebutaan total pun menyapanya.
"Meski tidak bisa
melihat, saya termotivasi untuk kuliah sejak duduk di bangku SMP karena
melihat banyak kakak kelas difabel yang sukses dalam kehidupannya," kata
alumnus SMA Muhammadiyah 5 Karanganyar, Jawa Tengah itu seprti dilansir
laman UNY, Jumat (21/3/2014).
Nasib Bima sedikit lebih baik.
Mahasiswa kelahiran Sleman, 11 Oktober 1992 masih bisa melihat hingga
usia remaja meski dalam keterbatasan. Penglihatan Bima mulai berkurang
pada usia sembilan tahun. Kemudian, pada usia 15 tahun, Bima mengalami
ablasi retina yaitu terlepasnya syaraf mata dari lapisan di bawahnya
akibat timbunan cairan di antaranya. Inilah penyebab Bima tidak dapat
melihat.
"Sejak kelas 3 SMP saya pindah ke Yaketunis. Sedangkan
untuk studi lanjut, saya masuk ke MAN Maguwoharjo yang merupakan sekolah
inklusi," tutur Bima.
Berbekal motivasi kuat berkuliah di
kampus negeri, Ardiansyah dan Bima pun memperjuangkan jalan masuk PTN.
Bima lolos seleksi melalui jalur undangan tanpa tes. Sementara itu,
Ardiansyah menaklukkan ketatnya persaingan dalam ujian tulis Seleksi
Nasional Masuk Perguruan Tinggi Negeri (SNMPTN) 2012 di Solo.
"Ketika tes, saya didampingi dosen PLB Universitas Negeri Solo (UNS) dalam mengerjakan soal ujian," kata Ardiansyah.
Warga
Pancakarya, Rejosari, Semarang Timur itu meyakini, meski berkekurangan,
penyandang disabilitas juga bisa belajar di mana pun. Syaratnya, mampu
dan memilih program studi yang tidak bisa mereka kuasai.
Kerennya
lagi, prestasi mereka juga patut dibanggakan. Keduanya selalu mencatat
nilai indeks prestasi kumulatif (IPK) di atas tiga. Terakhir, Bima
meraih IPK 3,18 dan Ardiansyah 3,40. Bagaimana cara mereka belajar dan
meraih prestasi?
Jawabannya, memanfaatkan teknologi. Jika selama
ini kita mengenal huruf braille sebagai alat bantu para tunanetra untuk
membaca dan menulis, begitu juga Bima dan Ardiansyah. Tetapi, keduanya
sepakat, braille tidak lagi efektif.
"Sebab, ada e-book yang bisa kita dengarkan melalui komputer untuk memahami materi kuliah," kata Bima.
Sementara
itu, Ardiansyah menyarankan, para pengajar sebaiknya memahami para
penyandang disabilitas. Putra Almarhum Sugondo dan Darwati yang
merupakan seorang pedagang itu bercerita, ada dosen di kampus yang
sangat pengertian kepada para mahasiswa tuna netra.
"Beliau mendiktekan materi kuliah sehingga kami bisa mencatatnya," imbuhnya. (rfa)
0 komentar:
Posting Komentar