oleh: Deddy Rustiono
Mencari sebuah status tidak hanya berlaku bagi manusia, tetapi juga
bagi institusi pendidikan, termasuk perguruan tinggi. Dalam hal ini
status yang dicari oleh perguruan tinggi lebih pada status akan
kualitasnya dalam berbagai sudut pandang. Untuk mendapatkan status
tersebut, perguruan tinggi biasanya melakukan sebuah proses yang
dinamakan akreditasi. Akreditasi merupakan salah satu bentuk penilaian
(evaluasi) mutu dan kelayakan institusi perguruan tinggi atau program
studi yang dilakukan oleh organisasi atau badan mandiri di luar
perguruan tinggi.
Akreditasi institusi dan prodi merupakan isu yang sensitif. Saking
sensitifnya sering disamarkan publikasinya, cenderung disimpan. Publik
tak pernah diberi kesempatan untuk melihat “nilai dan posisi” mereka
sendiri dalam mengelola institusi yang bergerak di layanan bidang
pendidikan. Artinya, tak pernah diberi ruang untuk punya “sense of crisis” dan “sense of belonging”
atas capaian tersebut. Akhirnya kerja pencapaian akreditasi menjadi
pekerjaan orang per orang atau Tim Adhoc saja, bukan kerja sinergis
seluruh civitas akademika.
Akreditasi merupakan suatu proses dan hasil. Sebagai proses,
akreditasi merupakan upaya Badan Akreditasi Nasional Perguruan Tinggi
(BAN-PT) untuk menilai dan menentukan status kualitas institusi
perguruan tinggi berdasarkan standar mutu yang telah ditetapkan. Sebagai
hasil, akreditasi merupakan status mutu perguruan tinggi yang diumumkan
kepada masyarakat.
Banyak hal yang membuat kebutuhan akreditasi itu menjadi tak bisa
ditawar-tawar. Kebutuhan akan akreditasi di jurusan/prodi sangat
mendesak sekali. Sanksi yang akan dikeluarkan oleh Direktorat Jenderal
Pendidikan Tinggi (Ditjen Dikti) pada jurusan/prodi yang belum
terakreditasi bisa beragam, mulai dari tidak bisa mewisuda lulusan,
diasuh oleh jurusan lain, pencabutan izin, sampai penutupan prodi,
tergantung dari hasil evaluasi Dikti.
Undang-Undang 12/2012 tentang Pendidikan Tinggi (Dikti) mengamanatkan
bahwa mulai 10 Agustus 2014, ijazah dikatakan legal jika dikeluarkan
oleh kampus yang institusi dan prodinya terakeditasi. Jika prodinya saja
yang terakreditasi, ijazahnya dianggap “ijazah bodong”.
Akreditasi bagi perguruan tinggi negeri ataupun swasta adalah nyawa. Sayangnya, sivitas akademika, terutama dosen dan manajemen perguruan tinggi belum sadar pentingnya akreditasi tersebut.Akreditasi menjadi kunci bagi alumni untuk memasuki lapangan pekerjaan. Beberapa alumnus banyak yang tidak diterima menjadi PNS di daerahnya karena masalah akreditasi, banyak perusahaan yang memasukkan akreditasi sebagai kualifikasi sebuah pekerjaan.
Masih berhubungan dengan pendidikan dan pengajaran, ternyata akreditasi menjadi instrumen penilaian dengan skor tertinggi sebagai prasyarat hibah pendidikan. Hasil penelitian yang dilakukan Universitas Negeri Yogyakarta (UNY) terhadap 79 prodi yang dimilikinya pada tahun 2009 menunjukkan hasil bahwa akreditasi memiliki potensi pengembangan diri secara multipurpose. Terdapat tiga fenomena dampak sebelum dan sesudah akreditasi prodi terhadap perolehan dana hibah. Fenomena tersebut adalah: (1) sebelum dan sesudah akreditasi tetap mendapatkan dana hibah, (2) sebelumnya mendapat dana hibah dan sesudahnya tidak, (3) sebelum akreditasi tidak mendapat dana hibah dan sesudah akreditasi mendapatkan dana hibah.
Simpulan penelitian ini, akreditasi merupakan hal yang penting untuk peningkatan kualitas lembaga, kualitas dosen, kualitas mahasiswa, dan peningkatan administrasi. Peningkatan kualitas juga akan membawa konsekuensi pada peningkatan kuantitas sarana prasarana, dan fasilitas pendukung proses keberhasilan pembelajaran dan lainnya.
Departemen Keuangan juga menempatkan instrumen capaian akreditasi sebagai item penilaian tertinggi untuk menilai kinerja Badan Layanan Umum (BLU) bidang layanan pendidikan secara keseluruhan, di samping skor layanan keuangan. Rilis hasil penilaian kinerja Unnes sebagai BLU Bidang Layanan Pendidikan selama tahun 2012 yang dikeluarkan Direktorat Pembinaan Pengelolaan Keuangan BLU menempatkan Unnes di peringkat ke-2 pada aspek keuangan (skor 23,04) dari 22 PTN BLU di Indonesia, sedangkan dari aspek layanan pendidikan “hanya” di peringkat 18 (skor 49,00) dari 22 PTN BLU di Indonesia (Surat Keputusan Direktur Pembinaan Pengelolaan Keuangan Badan Layanan Umum No.KEP-219/PB.5/2013 tanggal 31 Desember 2013).
Dalam dua tahun belakangan ini pembahasan alokasi anggaran di Kementerian Dikbud dan Kementerian Keuangan juga telah mempertimbangkan kemajuan perolehan akreditasi institusi dan prodi-prodi suatu perguruan tinggi untuk menentukan besaran alokasi dana penelitian dan pengabdian, dana Bantuan Operasional Pendidikan Tinggi Negeri (BOPTN) dan lain-lain yang berkaitan dengan alokasi anggaran.
Jelas kiranya bahwa akreditasi bagi perguruan tinggi negeri ataupun swasta adalah nyawa. Sayangnya, sivitas akademika, terutama dosen dan manajemen perguruan tinggi belum sadar pentingnya akreditasi tersebut. Rasa “memiliki” institusi dan prodi masih kurang. Pola pikir lama yaitu kerja tidak kerja, rajin tidak rajin tetap dibayar, berpikir bahwa jika operasional jurusan/prodi sudah berjalan, berarti semua “baik-baik” saja menjadi beberapa penghambat utama perubahan pola pikir. Kita belum sadar sepenuhnya bahwa akreditasi sangat penting bagi para lulusan dan keberlanjutan prodi serta peningkatan mutu universitas secara keseluruhan.
Nama besar, dengan jumlah mahasiswa makin besar, harus diimbangi dengan mutu institusi dan prodi yang makin digdaya sekaligus pengakuannya di tingkat nasional maupun internasional. Itu baru bergengsi, berharga diri tinggi.
sumber: unnes.ac.id
0 komentar:
Posting Komentar