Senin, 24 Maret 2014

Tak Ciut Niat untuk Kuliah & Berprestasi

Foto: dok. UNY 

Yogyakarta - Tidak ada yang tidak mungkin di dunia ini dan tidak ada manusia yang sempurna di muka bumi ini. Begitu juga dengan para penyandang disabilitas. Meski secara fisik penampilan mereka tidak seperti orang kebanyakan, kemampuan mereka dalam berbagai bidang boleh diadu. Bahkan, banyak difabel berotak encer.

Tidak jarang, kemampuan akademik ini mengantarkan para difabel mencicipi perkuliahan di kampus negeri. Misalnya dua mahasiswa Universitas Negeri Yogyakarta (UNY) ini, Ardiansyah dan Muhamad Bima Pradana. Berkuliah di Program Studi (Prodi) Pendidikan Luar Biasa Fakultas Ilmu Pendidikan (FIP) UNY, mereka mengaku sudah menjadi tuna netra sejak belia.

Ardiansyah misalnya, kehilangan penglihatannya sejak kelas 3 SD. Awalnya, pada usia empat tahun, mata kiri Ardiansyah terkena pedal sepeda. Bertahun-tahun kemudian, kebutaan total pun menyapanya.

"Meski tidak bisa melihat, saya termotivasi untuk kuliah sejak duduk di bangku SMP karena melihat banyak kakak kelas difabel yang sukses dalam kehidupannya," kata alumnus SMA Muhammadiyah 5 Karanganyar, Jawa Tengah itu seprti dilansir laman UNY, Jumat (21/3/2014).

Nasib Bima sedikit lebih baik. Mahasiswa kelahiran Sleman, 11 Oktober 1992 masih bisa melihat hingga usia remaja meski dalam keterbatasan. Penglihatan Bima mulai berkurang pada usia sembilan tahun. Kemudian, pada usia 15 tahun, Bima mengalami ablasi retina yaitu terlepasnya syaraf mata dari lapisan di bawahnya akibat timbunan cairan di antaranya. Inilah penyebab Bima tidak dapat melihat.

"Sejak kelas 3 SMP saya pindah ke Yaketunis. Sedangkan untuk studi lanjut, saya masuk ke MAN Maguwoharjo yang merupakan sekolah inklusi," tutur Bima.

Berbekal motivasi kuat berkuliah di kampus negeri, Ardiansyah dan Bima pun memperjuangkan jalan masuk PTN. Bima lolos seleksi melalui jalur undangan tanpa tes. Sementara itu, Ardiansyah menaklukkan ketatnya persaingan dalam ujian tulis Seleksi Nasional Masuk Perguruan Tinggi Negeri (SNMPTN) 2012 di Solo.

"Ketika tes, saya didampingi dosen PLB Universitas Negeri Solo (UNS) dalam mengerjakan soal ujian," kata Ardiansyah.

Warga Pancakarya, Rejosari, Semarang Timur itu meyakini, meski berkekurangan, penyandang disabilitas juga bisa belajar di mana pun. Syaratnya, mampu dan memilih program studi yang tidak bisa mereka kuasai.

Kerennya lagi, prestasi mereka juga patut dibanggakan. Keduanya selalu mencatat nilai indeks prestasi kumulatif (IPK) di atas tiga. Terakhir, Bima meraih IPK 3,18 dan Ardiansyah 3,40. Bagaimana cara mereka belajar dan meraih prestasi?

Jawabannya, memanfaatkan teknologi. Jika selama ini kita mengenal huruf braille sebagai alat bantu para tunanetra untuk membaca dan menulis, begitu juga Bima dan Ardiansyah. Tetapi, keduanya sepakat, braille tidak lagi efektif.

"Sebab, ada e-book yang bisa kita dengarkan melalui komputer untuk memahami materi kuliah," kata Bima.

Sementara itu, Ardiansyah menyarankan, para pengajar sebaiknya memahami para penyandang disabilitas. Putra Almarhum Sugondo dan Darwati yang merupakan seorang pedagang itu bercerita, ada dosen di kampus yang sangat pengertian kepada para mahasiswa tuna netra.

"Beliau mendiktekan materi kuliah sehingga kami bisa mencatatnya," imbuhnya. (rfa)

0 komentar:

Posting Komentar

Share

Twitter Delicious Facebook Digg Stumbleupon Favorites More